AliceYu's profile, publications, research topics, and co-authors. Predicting toxicity and success of anti-GD2 immunotherapy of neuroblastoma NIH R01CA164132 Apr 1, 2012 - Mar 31, 2016 Role: Principal Investigator: IMMUNE MONITOR FOR COG TRIAL OF ANTI-GD2 IN NEUROBLASTOMA NIH R01FD002319 Sep 30, 2003 - May 31, 2010 Role: Principal Investigator: CLINICAL TRIAL CoShaping the English Future on Campus. More Than just Having Fun: D-School Develops International Talents. NTU’s Long-Distance Storage and Transportation Technology Helps with the Export of Atemoya. NTU Takes Action Towards Meeting Sustainable Development Goals. Still Together After 20 Years: Meet UPenn Librarian & Professor, Dr. Brian Vivier. 2015年個人的ニュース. チカの思い出話にしようと思ったら思い出ありすぎて 2016年に入っても一週間くらいはその話題持ち越しそうだったので チカ母の育児以外での今年の三大ニュースにしました。. 今年って書いておきながら、全部今月の出来事なことに Oleh Agus Prasetyo. Beberapa waktu yang lalu ketika membaca tabloid Nyata minggu IV bulan September 2009 mengenai nutrisi, saya tertarik dengan pernyataan dr Tan Shot Yen mengenai hubungan kesehatan dengan kondisi emosi manusia. Untukmeningkatkan imun tubuh dan agar tidak terinfeksi virus corona atau Covid-19, salah satu caranya dengan berjemur pada waktu yang tepat. buatlah poster tentang dampak siklus air bagi kehidupan. Menulis buku yang menggugah, mencerahkan, bermutu, serta punya nilai kompetensi merupakan salah satu karya pengabdian masyarakat. Dr. Tan menulis secara intensif pemahaman arti kesehatan secara utuh. Semoga buku ini menjadi contoh bagi para dokter Indonesia, untuk berkreasi dan berkarya mengabdi untuk bangsa. — Dr. Zaenal Abidin, MH Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Dr. Tan Shot Yen adalah dokter masa depan yang sangat cerdas, konsisten, dan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia, karena mempunyai konsep pencegahan sebagai dasar hidup sehat. Tulisan dalam buku ini membuktikan bahwa kesehatan bukanlah faktor kepandaian dokter, tetapi pilihan cerdas dari seseorang karena dokter bisa memberdayakan orang tersebut. — Dr. dr. Aris Wibudi KEMD Ketua Edukator Diabetes Indonesia. Ketua Perkumpulan Kesehatan Integratif Nusantara. Ketua Tim Dokter Kepresidenan RI 2009–2014 Dokter Tan secara lugas menjabarkan cara menghormati tubuh kita melalui pola makan. Kita berikan apa yang dibutuhkan tubuh, hasilnya adalah sehat. Sebaliknya, jika mau praktis dan selalu makan yang disukai lidah, pasti ada konsekuensinya. — Fifi Aleyda Yahya Anchor, Host Sudut Pandang Metro TV Pendekatan reduksionisme telah membuat manusia tercerai-berai dari keutuhannya sebagai "the living being". Orang lupa bahwa situasi internal di dalam tubuh dan situasi eksternal di luar tubuh mempunyai hubungan kesalingan. Kesehatan sel-sel di dalam tubuh bergantung pada kondisi keduanya. Ini mencakup konsumsi sehari-hari dan teknologi yang menghasilkan begitu banyak produk konsumsi yang tidak sehat karena rantai produksinya semakin jauh dari material asal yang dihasilkan alam. Sehat bukan sekadar tidak ada penyakit di tubuh. Gaya hidup sehat mengisyaratkan kesehatan menyeluruh, yakni lingkungan alam yang sehat, lingkungan hidup yang sehat, makanan yang sehat, lingkungan sosial yang sehat, pikiran dan kondisi jiwa yang sehat. Buku ini menyadarkan kita untuk memperlakukan tubuh sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari rasa kebertubuhan. — Maria Hartiningsih Wartawan Kompas View Short Description Spesifikasi Produk SKU GRM-177 ISBN 9786020322087 Berat 500 Gram Halaman 204 Jenis Cover Soft Cover - Lebih dari dua minggu mengisi topik utama hampir seluruh media cetak dan elektronik, kasus gizi buruk Asmat menyedot perhatian semua orang. Mendadak sontak tiket pesawat jurusan Papua habis terjual, walaupun tidak semua komunitas masyarakat ikut menggalang dana apalagi siap berjihad seperti waktu Palestina dan Rohingya didera politik agama. Yang pasti, banyak pihak lebih gencar melemparkan kritik atas kinerja pemerintah atau mempertanyakan ke mana larinya dana pembangunan elak profesi dokter menuai hujatan, seakan-akan sekolah hanya demi gengsi, bukan untuk mengabdi pada negri. Iming-iming 14 juta rupiah gaji per bulan tak digubris membuat Pak Bupati terheran-heran. Padahal, lebih mengherankan lagi jika beliau tidak menyadari bahwa ini bukan perkara uang. Bahkan, jumlah segitu’ dalam waktu singkat habis hanya untuk kompensasi bahan bakar speedboat puskesmas keliling atau menghantar pasien ke rumah sakit. Kengerian seorang dokter bukan karena menghadapi kasus gawat darurat di meja operasi, melainkan saat dia tidak berdaya menghadapi anak kelaparan setiap hari dan perempuan meregang nyawa saat melahirkan tanpa fasilitas bedah sesar. [Baca juga Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya]Yang ingin saya tarik sebagai sudut pandang, justru cara-cara orang yang hidup di luar kantong-kantong kemiskinan kesehatan, menolong’ masyarakat yang dianggap butuh bantuan. Impulsivitas sesaat karena rasa iba, bila tidak terarah justru akan menjadi bumerang. Tak usah jauh-jauh ke Papua, hanya dua jam sedikit bermobil keluar dari Jakarta, masih ada seorang ibu yang menggendong anak tulang berbungkus kulit menunggu kedatangan sinterklas berkala’ – yang selalu disambutnya dengan mata berbinar, karena dibawakan beberapa kotak susu bermerek, amplop berisi uang, sekarung kecil beras, ditambah gula, minyak goreng dan teh. Padahal, anaknya menderita TBC dan kurang darah akibat gangguan gizi yang dideritanya. Tenaga puskesmas bukanlah satu-satunya penggerak mobilisasi kesehatan. Jika begitu banyak sektor usaha dan upaya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara juga dipegang unsur swasta, maka kontribusi publik dan masyarakat umum di ranah kesehatan juga memegang andil besar akan terciptanya kondisi hidup sehat yang diinginkan. Sayangnya, sinkronisasi tindakan dan kontribusi itu tidak terjadi, sehingga pelbagai aksi dan kegiatan memberi dampak yang bukan hanya tidak signifikan, tapi justru berbalik sebagai counter effect’. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Cerita ini dimulai dari persiapan buku saya yang membutuhkan kata pengantar dari seorang dengan kredibilitas tinggi serta baik di dalam dunia kesehatan. Karena permintaannya muncul di last minute, agak bingung juga mencari kandidat terbaik untuk masalah ini. Bukan cuma masalah terbaik, masalahnya 'yang terbaik' itu ada yang mau nggak? Siapa gue gitu loh?! Kemudian Irene, managing editor di majalah Prevention, salah satu majalah di mana saya berperan sebagai kontributor, mengingatkan bahwa ada salah satu dari sesama kolumnis di majalahnya, ada yang suka dan menjadi penggemar dari tulisan-tulisan saya. Kolumnis itu bernama Dr. Tan Shot Yen! Wah, penggemar tulisan gue? Rasanya mau terbang ke langit ketujuh. Dr. Tan, demikian beliau akrab dipanggil, adalah salah satu ikon dunia kesehatan kelas utama di Indonesia, terutama saat pengobatan naturopati mulai mewabah akibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan konvensional. Metodenya yang unik namun ampuh membuat pasien beliau berkembang layaknya bilangan yang dipangkatkan dari waktu ke waktu. Belum lagi tulisan-tulisannya yang trengginas serta mengena bagi banyak pihak, membuat gaung nama beliau makin menggema di seantero jagad negeri ini. To make things even bolder, buku yang ditulisnya menjadi salah satu mega seller di negeri ini. Mega seller? Ya, kalau dihitung sebagai buku kesehatan, sebuah subjek non populer di negara ini. Sebuah bukti bahwa ilmu yang disandangnya dipandang sangat berguna oleh beragam pihak. Kalau sampai dia bersedia memberikan kata pengantar di buku saya? Wow, ..... kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. SUARA LANTANG "..bsk tlg krm hard copynya aja fotokopi lah selagi kau dtg bsk?" sepotong kalimat penuh kata singkatan yang saya terima di HP. Singkat dan lugas, tapi membuat saya bergegas ke tempat praktiknya di bilangan perumahan satelit Bumi Serpong Damai. Uniknya ia meminta saya secara spesifik datang di pukul 11. "Jangan terlambat!". Kenapa jam 11? "Dia pengen elo, liat cara dia menangani pasien-pasien barunya, makanya jangan telat" tukas Irene -redpel dari Prevention tadi- saat saya menanyakan kenapa jam itu yang dipilih? Kantor atau praktek beliau sangat mudah ditemukan. Satpam di kawasan pusat bisnis distrik langsung menunjukkan lokasinya "Itu mas, yang paling rame..". Dan memang benar, parkiran di depan kantor beliau sangat penuh oleh beragam jenis mobil, dan menunjukkan penuhnya pengunjung di ruang penerimaan tamu yang sebenarnya cukup lapang namun menjadi terkesan sempit dan penuh sesak. "Wey! Kedatengan orang penting nih gue!" teriak Dr. Tan lantang saat ia membuka pintu kamar prakteknya dan melihat saya berdiri di depan -ragu-ragu mau mengetuk untuk meminta ijin masuk. Teriak? Yup! Suaranya memang mirip dengan orang berteriak, walau ia sebenarnya bicara dengan nada biasa-biasa saja -menurutnya. Suaranya cukup lantang untuk membuat kita mau tidak mau berkonsentrasi menerima kehadiran beliau di depan. Ia menarik saya masuk, agak gak enak juga rasanya, karena di depan pintu itu telah duduk berdesak-desakan para pasien yang menunggu giliran. "Apa kabar? Wah, kamu tau gak saya ini penggemar berat tulisan-tulisan kamu, dan selalu menunggu kesempatan kapan bisa bertemu dengan anak ini?" Komentar yang membuat muka ini merah kalau saja kulit saya berwarna terang. "Dokter bisa aja, at least you already made something, I haven't " jawab saya semerendah mungkin. Bukan basa-basi, terutama yang mengenal saya, dan sering mengatakan bahwa saya adalah orang yang perlu lebih belajar basa-basi dan memfilter mulut dari mengucapkan kalimat pedas serta langsung ke tujuan. Tapi di depan sosok Dr. Tan, kharisma saya kalah bersinar dan lebih memilih untuk merendah sekalian. Kami berbasa-basi singkat, saling mengenal dan bertukar informasi. Kami mulai membahas isi buku saya secara sistematis, beliau nampak sangat tertarik dan begitu apresiatif. "Kenapa lo gak kasih judul yang bombastis sih? Yoga for Healing misalnya?". Saya tertawa sambil menggeleng, "Saya gak mau membuat orang berharap terlalu banyak, akhir-akhir ini status saya mulai membuat orang-orang berdatangan dan mengharapkan kesembuhan secara instan dan ajaib, which is not what yoga can provide". "Persis! Gue juga gitu! Heran? Sakit mayoritas gara-gara kesalahan hidup mereka, eh dateng-dateng ke kita, kemudian bertindak sepertinya kita bisa memberikan 'pil ajaib' atau tongkat mukzizat yang bisa membuat mereka sontak sehat!" Tukasnya mengamini. Tapi ia sekali lagi mengkritik usaha saya untuk low profile. "Udah deh, payah lo ah. Bikin judul yang bombastis dikit, napa? Kalau mau jadi terapis terkenal ya mau gak mau harus begitu sedikit" Saya terbahak mendengar respons ini. "Dok, saya gak pernah dan gak akan mau berusaha menjadi seorang terapis. Saya lebih suka menulis, mengajar yoga pun lebih karena dipaksa oleh lingkungan" Dia tertawa juga mendengar reaksi ini. "Gak bisa gitu, liat aja nanti, kalau menilik tulisan-tulisan dan testemoni yang masuk tentang kamu, mungkin suatu saat elu akan terpaksa mengurus ijin praktek karena tuntutan masyarakat" Wow! Itu sebuah fenomena yang cukup menakutkan bagi saya, dan rasanya terlalu mengerikan untuk dibayangkan. PRAKTEK YANG UNIK Dr. Tan meminta saya untuk keluar sebentar, karena pasien-pasien lamanya akan masuk, dan kembali lagi setelah sesi pasien baru. Ruang kecil beliau segera disesaki oleh pasien-pasien lama yang bergegas masuk begitu saya keluar. Tanpa harus menunggu lama, gaya ramah namun berapi-api Dr. Tan yang tadi keluar saat bersama saya segera berganti menjadi gaya meledak-ledak tapi galak. Wuih! Gak kebayang rasanya diomelin atau nyaris dimaki-maki seperti itu. Tapi gak ada yang bisa protes, karena mayoritas apa yang diucapkan dr. Tan begitu mengena dan nyata. Intinya sih, kalau gak ikhlas dan jujur mengakui kesalahan, saya menjamin tidak mungkin akan ada pasien yang betah berada di hadapan beliau. Entah kharisma apa yang dimilikinya? Tapi pasien itu rata-rata gak ada yang ngeyel atau mengelak saat ditembak oleh Dr. Tan dengan pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip tuduhan! Habis mau ngeles gimana? Namanya kepengen sembuh, mending jujur kali ya? Tampaknya itu yang terbersit di pikiran mereka. Macam-macam 'tuduhan' beliau, mulai dari tidak patuh terhadap menu makan yang disepakati, kemalasan mereka menggerakkan tubuh seperti perintah, atau nekat mengkonsumsi bahan makanan yang dipantangkan bagi mereka. Luar biasa dokter satu ini! Yang lebih kacau lagi, saat ia 'mengomeli' seorang pasiennya yang nampaknya terserang stroke dan telah berangsur sembuh namun masih enggan melepaskan diri dari tongkatnya. "Kalau tidak mau lepas dari tongkat ini, secara fisik dan mental kamu merusak tubuh kamu sendiri, coba lepas tongkat itu, lepas!" Saat dilihatnya sang pasien nampak ragu berdiri tanpa ditopang tongkat tersebut. Kemudian Dr. Tan berbicara macam-macam ke pasiennya untuk menggambarkan kondisi buruk yang mungkin terjadi apabila ia bergantung pada tongkat tersebut, mulai dari penurunan fungsi otot, organ yang terganggu sampai ke masalah psikis di mana ia suatu saat akan menyalahkan lingkungan, mulai dari orang sekitarnya hingga ke anak-anak yang dianggap tidak memperhatikan dirinya. Entah semburan kalimat itu begitu bombastis atau mengandung mantra, hehe, mendadak sang pasien mampu berdiri tanpa masalah walau tongkat itu telah dilepas. "Lihat kan! Apa rasanya berdiri tanpa tongkat? Tidak jatuh kan?" tukas dr. Tan puas. Hebat! INTEROGASI Setelah itu saya kembali masuk ke ruang praktek beliau, kali ini bergabung dengan belasan pasien baru. Walau bersesak-sesakan di ruang yang kecil, namun tidak ada satupun pasien mengeluh atau protes, hebat kharisma dokter bertubuh langsing ini. Di sini Dr. Tan, langsung berbicara "Silahkan mengenalkan diri masing-masing dan keluhannya, tapi ingat! Ini bukan ajang curahan hati, cukup kenalkan, sisanya biarkan saya yang berbicara!". Wuih, teknik yang unik lagi diperlihatkan oleh beliau. Perlahan-lahan satu persatu pasien berbicara. Memperkenalkan diri dan kondisi masing-masing. Dr. Tan mendengarkan dengan seksama, lalu ia memberondong pasien tersebut dengan pertanyaan yang sifatnya personal terkait kondisi kesehatan mereka. Memberondong? I don't exaggerate over this, ia benar-benar memberondong kata-kata layaknya senapan mesin atau UZI senapan serbu taktis buatan Israel yang mampu memuntahkan minimal 600 peluru per menit ke pasiennya, yang tentu saja menjadi gelagapan dan memberikan jawaban jujur tentang latar belakang mereka. Sebuah metode interogasi a la militer rupanya. Dr. Tan "Kenapa Anda kesini?" Pasien "Saya merasa obesitas, dok.." Dr. Tan "Kenapa obesitas?" Pasien "Karena keturunan di keluarga saya.." Dr. Tan "Nonsens! Kenapa?!" *mulai meninggi nadanya* Pasien "Ngg.. Anu, mm.. makan saya banyak" *mulai terintimidasi* Dr. Tan "Kalau makan bener, banyak juga gak pa-pa! Kenapa?!" Pasien "Saya suka makan yang manis-manis, dok" Dr. Tan "Nah, itu dia.. Persis!" *manggut-manggut puas* "Jangan pernah ada yang bilang, kalau kalian itu sakit karena keturunan, itu mayoritas bohong! Sedikit sekali penyakit yang menurun karena genetika, sedikit!" setelah itu Dr. Tan, dengan gaya yang sangat ekspresif memukul meja di depan dan kemudian mencolokkan jari-jari tangannya ke mulut. "Ini yang membuat penyakit seakan-akan muncul di keluarga sebagai penyakit turunan..." katanya setengah membeliakkan matanya "Keluarga, meja makan dan apa yang kalian makan di sana!". Atau ini.. Dr. Tan "Kenapa pak?" Pasien "Saya darah tinggi, dok.." Dr. Tan "Berapa?" Pasien "Sekarang sih lagi minum obat jadi 120-80" Dr. Tan "Saya tanya nilai kamu, bukan nilai bikinan guru les!" Pasien "He?" *bingung* Dr. Tan "Itu kan bikinan dokter kamu? Bukan darah tinggimu.." Pasien "Hehe, iya dok.." Dr. Tan "Jadi kalau guru lesmu matek, nilai kamu merah lagi?" Pasien *Tambah bingung* Dr. Tan "Udah berapa taun minum obat itu" Pasien "Lima tahun, dok" Dr. Tan "LIMA TAHUN?! Dan gak ada kemajuan, begitu-begitu saja?" Pasien "Iya dok, tapi memang gak pernah melonjak lagi.." Dr. Tan "Guob*** sisan!!!" *membentak sembari memukul meja* Kemudian sambil marah-marah pada dirinya sendiri ia mengungkapkan keheranannya pada pasien yang mau saja berobat bertahun-tahun pada seorang dokter tapi tidak menunjukkan gejala perbaikan, hanya berada pada posisi stagnan. Dan pasien itu sudah cukup puas. "Itu sebabnya pasien yang kena darah tinggi, 'matek'-nya rata-rata bukan karena darah tingginya, tapi karena liver atau ginjalnya ngambek! Lha wong bertahun-tahun harus menelan racun. Yang konyol ya, pasiennya.. Kok mau? Dan dokternya juga.. Kok tega?" Ia menuding lagi ke bapak pasien darah tinggi tadi. "5 tahun ke dokter itu, pernah ndak, bapak dikasih tau, kenapa sakit darah tinggi bisa terjadi? Dan apa langkah pencegahannya agar tidak sampai sakit, selain minum obat?" Ketika sang bapak menggeleng, Dr. Tan menghembuskan nafas kesal dan membanting tubuhnya ke senderan kursi. "Persis! Guo**** tenan!" BUKAN SPESIALIS Tapi bukan berarti dokter satu ini lebih banyak mengomel dan memaki. Ia sangat taktis dalam memberikan penjelasan beragam penyakit yang diderita pasiennya. Begitu taktisnya sampai orang paling awam pun rasanya bisa mengerti dengan cukup mudah apa yang dimaksud oleh beliau. Bandingkan dengan mayoritas oknum dokter yang cuma mendengar keluhan pasien, tanpa melihat mata pasien, kemudian menuliskan resep, tanpa melihat mata, lalu mempersilahkan pasien keluar ruangan, masih dengan tanpa melihat mata. Dr. Tan lain, ia bahkan memberikan bahasa tubuh yang sangat teatrikal untuk menggambarkan kondisi tubuh yang mengalami masalah, ia juga tidak ragu-ragu berteriak kecewa, gembira atas reaksi juga jawaban pasien yang sesuai atau tidak dengan harapannya. Sebenarnya mengasyikan sekali melihat dokter satu ini saat berpraktek. Asyik, karena saya bukan pasien dan bisa melihat suasana ini dengan penuh objektivitas. Cerita lain kalau saya adalah pasien dan melakukan kesalahan yang tidak sesuai dengan petunjuk sang dokter ini. "Bawa saja, bagian tubuh Anda yang sakit itu ke bengkel Astra, minta dibetulin di sana, kalau sudah balikin dan pasang lagi" Tiba-tiba salah satu kalimat pedas Dr. Tan memutus lamunan saya. Ada apa nih? "Salah satu puncak kegob***an dunia kedokteran adalah maraknya spesialisasi ini dan itu di sana-sini. Lalu pasien yang dateng ke mereka diperlakukan layaknya onderdil mobil, dikerjakan satu persatu apabila rusak, bukannya dilihat sebagai satu kesatuan sistem, kapan mau sembuh beneran?" Omelnya dengan nada sangat keras. Kemudian ia menjelaskan secara sistematis, mengapa tubuh manusia tidak sepatutnya dilihat dari organ per organ. Penyumbatan koroner jantung misalnya, tidak bisa tidak, penyebabnya hampir 100 persen berasal dari makanan, tapi setiap kali pasien penderita jantung koroner pergi menjalani operasi bedah jantung, entah di pasang ring atau treatment lainnya, jarang sekali dokter jantung yang memberikan tuntunan panduan makan secara cermat kepada pasien. Paling-paling pekerjaan ini dilempar ke dokter ahli gizi, yang kita semua tahu mayoritas cuma bisa memberikan resep langsing bukannya resep untuk hidup sehat. Kalau yang satu ini saya punya pengalaman pribadi, waktu diajak bekerja sama oleh salah satu dokter gizi kondang di Jakarta. Waktu saya sodorkan pola makan anti stres dengan manipulasi bahan makanan terkait dengan produksi zat neurotransmitter. Dokter itu terbengong-bengong, "Wah, saya mah taunya cuma bikin orang langsing doang. Gak tau nih begini-beginian?" Yak ampun? Saya ini bukan ahli gizi, mosok lebih tau konsep food therapy ketimbang dia? Jadi kembali ke kasus Dr. Tan tadi. Bagaimana seorang pasien bisa sembuh secara paripurna, kalau dokternya aja saling lempar-lemparan kasus? Ia sekali lagi memaki konsep spesialisisasi secara sembarang di dunia kedokteran. "Makanya kalau ada orang tanya saya ini spesialisasi apa? Saya jawab, saya bukan mekanik bengkel, saya dokter!" Ini adalah salah satu kalimat pedas dari beliau yang diucapkan saat dulu pertama bertemu saya. MAKAN SEHAT & BERGERAK Akhirnya Dr. Tan memberikan resep sehat bagi setiap pasiennya. Bukan, beliau bukan mencatat kalimat-kalimat berbahasa latin untuk diteruskan ke apoteker dan diubah menjadi tablet, pil, salep atau obat cair, tidak! Resep yang ditulis oleh Dr. Tan, jangankan seorang apoteker, seorang tukang sayur yang biasa mampir ke rumah Anda pagi-pagi pun bisa mengerti. Apa yang harus dimakan! "Jangan ada yang protes, makanan yang saya rujuk ini bisa membuat Anda menikmati hidup atau tidak! Kalau mau sembuh, ya? Anda-Anda ini terlihat sekali adalah orang yang sudah hampir seumur hidup menikmati hidup dengan memanjakan lidah ke makanan yang enak, tapi salah!" Dr. Tan sudah menekankan konsep ini di awal pemberian resep hidup sehatnya. "Sekarang Anda harus membayar harga nikmat tapi mematikan tersebut dengan berdisiplin mengikuti apa yang saya berikan" Tukasnya dengan tatapan tajam. Apa yang diminta oleh Dr. Tan sangatlah sederhana untuk dimengerti dan dilakukan, tapi bagi para so called 'penikmat hidup', pastilah sangat berat untuk dituruti. Saran beliau 1. "tidak ada gula!" Orang sering dengan bodohnya mengira bahwa penumpukan lemak itu lahir akibat konsumsi lemak yang berlebihan. Padahal Dr. Tan mengatakan, "Manusia itu punyathreshold untuk lemak, yaitu rasa mual dan muak. Jarang ada manusia yang mengkonsumsi lemak lebih banyak dari kemampuan tubuhnya menerima". Penumpukan lemak dalam tubuh kita, mayoritas lebih kepada konsumsi gula yang berlebihan dalam segala bentuk. Kandungan gula yang terlalu tinggi membuat tubuh mengeluarkan insulin berlebihan untuk menormalkan lonjakan gula darah dan mengakibatkan kelenjar pankreas lelah. Kerusakan pankreas membuat penyakit degeneratif yang sangat populer, Diabetes. 2. "buah dan sayur sebagai sumber karbohidrat" "Berhenti makan beras, tepung atau sumber karbohidrat umum lainnya! Kalau Tuhan mau kita makan beras, kita sudah dikasih tembolok dari lahir!" Masih terkait dengan apa yang diutarakan sebagai konsumsi gula berlebihan, Dr. Tan menekankan pada karbohidrat akan berubah menjadi gula, dimana cadangan gula yang berlebihan akan segera ditransformasikan oleh tubuh dalam bentuk glikogen disimpan dalam hati - otot serta trigliserida lemak. Angka trigliserida tinggi adalah sumber obesitas yang sekarang semakin marak menyerang kehidupan manusia. "Jangan panik, dengan bilang, kalau gak makan nasi badan saya lemas" Tukasnya sebelum ada pasien yang protes. "Tubuh Anda membangun kebiasaan, bukan memenuhi kebutuhan. Pernah liat orang yang habis makan, makanan Padang? Setelah dua jam, bukannya semakin kuat, mereka malah menjadi mengantuk! So, Anda bilang Anda lemas, kalau tidak makan nasi?" Hihi! Dr. Tan memberikan daftar penggantinya segera. Buah dan sayur sebagai sumber karbohidrat. Ia menyajikan urutan buah-buah yang memiliki kandungan fructose -gula alami buah- aman. Ia juga menekankan cara menyajikan sayuran yang baik. "Jangan bilang Anda sudah makan sayur kalau yang dimakan sayur bening atau sayur cap cay, itu bukan sayur, itu sampah dalam bentuk sayur!" Ucapnya dalam nada tinggi. "Sayur dimasak sudah pasti enzyme-nya mati, gak ada gunanya buat tubuh, paling cuma serat-seratnya aja. Makan sayuran mentah yang dicuci bersih, kalau takut sama petsisida, ya beli yang organic atau tanam sendiri di depan rumah!" 3. tidak ada susu binatang "Sapi itu begitu anaknya sudah bisa berjalan, ia akan segera berenti menyusui dan membiarkan anaknya mencari makan sendiri, manusia itu satu-satunya species yang cukup gob*** untuk mati-matian mencari susu spesies lain dan merasa membutuhkannya". Ia kemudian menyambung lagi, "Anak kecil di atas usia 2 tahun dipaksa minum susu, orang tuanya tidak sadar bahwa anak itu akan mengalami kesulitan pencernaan, karena cadangan enzyme-nya akan terkuras untuk mencerna bahan makanan yang semestinya tidak ia konsumsi lagi". Pendapat yang sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Hiromi Shinya tentang Enzyme pangkal atau miskonsepsi dimana intoleransi laktosa kadang dianggap tidak ada saat sang anak tidak mencret waktu minum susu. Padahal sang anak menunjukan gejala alergi lain, infeksi kulit, eksim, gatal-gatal, sembelit, obesitas, mudah terserang penyakit hingga asma. Saya sih sudah tahu persis fakta bahaya susu sapi. Dari sisi lactose intolerant, casein, non absorb calcium juga gak ada guna-gunanya sedikitpun bagi tubuh. Tapi orang lain? Fakta satu ini membuat mereka terkaget-kaget. Maklum jor-joran uang yang digelontorkan pabrikan susu memang membuat kampanye kebutuhan manusia terhadap cairan produksi binatang ini terasa begitu membahana dan menguasai kehidupan kita. "Kurang apa kalau kita gak minum susu? Kalsium? Bohong pabrikan itu, kalau gak minum susu kita kekurangan kalsium. Kalsium di susu sapi gak bisa diserap tubuh manusia, titik!" Ia kemudian menunjukan fakta kelicikan produsen susu untuk berkelit dari upaya penipuan saat orang yang minum susu tetap terserang osteoporosis. "Pasti ada tulisan kecil, sangat kecil, di salah satu sudut kotak atau kaleng susu, yang menuliskan kalimat semacam 'Harus disertai dengan aktivitas fisik yang rutin', jadi mereka bisa mengelak dari pasal penipuan ke masyarakat". Ia juga menertawakan satu produsen susu sapi yang begitu gencar memasarkan produk susu kalsium tapi diembel-embeli dengan kalimat 'berjalan langkah perhari'. "Anda mau nyuruh kakek-nenek yang renta berjalan 10 kilometer sehari? Gak keropos bener, tapi yang ada mereka matek, kecape'an" ujarnya dengan logat Jawa sangat kental. 4. banyak bergerak Kalau yang satu ini saya agak ge-er, karena Dr. Tan memberikan konsep sambil mengacu kepada beberapa tulisan saya yang telah ia baca. "Sistem limfatik tubuh cuma bisa berfungsi kalau kita bergerak dengan baik, terimakasih kepada Iyengar dan juga pada Erik yang telah menyampaikan pemikiran beliau kepada kita lewat tulisan-tulisannya" Ia mengucapkan ini sambil menatap tajam ke arah saya. Haha, segalak-galaknya beliau tapi ia punya jiwa fair play yang luar biasa. Sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan apa yang saya lakukan, benar-benar mengacu kepada kemaslahatan bersama, take a bow, doc! Menurut Dr. Tan, usaha mati-matian di satu sisi tapi melewatkan sisi yang lain, adalah upaya yang kadang tidak membuahkan hasil maksimal. Menjaga makanan tanpa pernah aktif menggerakan tubuh secara benar akan membuat fitalitas kita terganggu. Demikian pula hal sebaliknya. KESEMBUHAN HAKIKI Kekerasan Dr. Tan kepada pasiennya, mengingatkan saya pada salah satu kalimat dari BKS Iyengar, tokoh utama yoga dunia, saat ia dikritik karena terkenal sebagai orang yang sangat keras dalam menerapkan metodenya. "Saya berhadapan dengan orang yang ingin belajar dari saya dan memperbaiki kerusakan yang telah mereka lakukan. Tapi saat mereka muncul di depan saya dan melakukan hal yang telah merusak mereka, apa yang harus saya lakukan?" Tanya Iyengar. "Saya harus bersikap keras dan menghancurkan kebiasaan lama mereka, agar mereka bisa menumbuhkan kebiasaan baru yang positif dan membenarkan apa yang telah mereka rusak selama ini. Mungkin memang ada cara lain yang lebih baik, tapi bagi saya ini cara terbaik yang bisa saya lakukan" Jawaban tegas dari seorang tokoh yang buah karyanya dijadikan rujukan utama di dunia kesehatan modern. Sama dengan yang dilakukan oleh Dr. Tan ini. Berhadapan dengan segerombolan pasien yang telah menyia-nyiakan kesehatan mereka dengan berbagai cara, ia harus berlaku keras dan kejam, untuk membuat pasiennya sadar dan mengubah gaya hidup mereka sesuai dengan kebutuhan. "Kita boleh dibilang galak dan saklek, Rik. Tapi kalau mau merubah kebiasaan buruk orang, kita gak boleh kompromi. Terserah mereka mau melakukan atau tidak, it's a matter of choice kok" Benar! If you don't like what we do, don't come to us, but if you think what we do can help you, so come!. Sederhana kan? Kepingin rasanya menyaksikan praktek Dr. Tan ini sampai habis. Sayang waktu saya terbatas dan harus segera meninggalkan tempat ini. Tapi sebelum saya pergi, Dr. Tan sempat mengungkapkan serentetan kalimat yang sangat berharga untuk didengar dan disebarkan. "Kesehatan itu harus bersifat hakiki. Kalau kita sakit, harus dicari penyebabnya, bukan cuma gejalanya yang diatasi, itu bukan penyembuhan, tapi mengulur-ngulur permasalahan" Ia mengarahkan padangannya kepada bapak yang terkena darah tinggi tadi. "Kalau cuma mematikan alarm mobil, itu bukan menyelesaikan masalah. Kalau lampu indikator bensin menyala, ya kita harus mengisi bensin, bukan menggebuk lampu indikator itu supaya mati!" Menarik sekali! Sayang seribu sayang, tujuan selanjut saya sangat jauh dari tempat praktek ini, Bumi Serpong Damai ke salah satu daerah di bilangan Jakarta Pusat. Dengan berat hati saya memotong sesi ini dan meminta ijin untuk pergi. Dr. Tan berdiri menyalami saya sambil berkata, "Suatu kehormatan kamu meminta saya menulis kata pengantar untuk bukumu, mengharukan sekali" Kehormatan untuk seorang Dr. Tan? Who do you think I am, doc? It's vice versa! Lihat Healthy Selengkapnya Pasien milenial memang tak ada duanya dibanding -tak usah jauh-jauh- pasien jaman sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya, kasihan juga para dokter yang masih mengandalkan cara praktek kuno pasien datang, ditanya keluhan, di’periksa’ ala kadarnya – lalu diberi resep dan selesai. Lebih gawat lagi jika yang jadi pasien adalah penderita langganan’ – yang sebetulnya bertemu dokter hanya karena butuh resep ulangan entah itu obat diabetes, hipertensi, kolesterol, pengencer darah dan selama ini dianggap menyelamatkan nyawa – tanpa harus mengubah perilaku penyebab pasien seperti ini tipikal ditemui di poli rawat jalan rumah sakit dengan layanan asuransi yang antrinya sejak subuh, atau poli puskesmas yang lucunya paling sesak berjejal di hari Senin atau Jumat. Pasien milenial tidak akan sudi turut mengantri dengan cara begitu. Mereka biasanya mudah ditemui di praktek-praktek swasta yang dokternya ramai dibahas di medsos baca komunitas khusus atau yang dokternya terkenal karena pasiennya kelas papan atas. Menangani pasien begini ada sensasi ngeri-ngeri sedap’ tersendiri. Pertama, pasien biasanya datang dengan satu tas hasil pemeriksaan yang kerap kali mereka periksa ke laboratorium sendiri tanpa pengantar dokter dan satu lembar daftar pertanyaan. Sidang disertasi saja kadang kalah tegang. Kedua, dokter harus siap menjadi wasit bagi pasien yang justru membutuhkan opini ketiga – atau bahkan – ke empat’. Setelah ia lelah jajan dokter keliling nusantara, bahkan dunia bila perlu. Ketiga, siap-siap tepok jidat mendengar pasien menghujat dokter yang dikunjungi sebelumnya bahkan memutuskan henti obat mendadak karena setelah melakukan proses telaah literatur’ baca googling ternyata ia menemukan obatnya punya banyak efek samping yang mengkhawatirkan’. Keempat, jangan syok bila pasien jika ditanya,"Jadi,....tujuan anda menemui saya?” Maka jawabnya,”Mau sembuh!” padahal ia dalam kondisi kanker lanjut dengan anak sebar di mana-mana dan saya sendiri bukan spesialis onkologi. Dengan kata lain, di saat pasien menyerah dengan penyakitnya, maka dokter diharapkan pasien menjadi dukun ajaib. Pernah ada kejadian seorang pasien wanita berperawakan kurus pucat datang ke saya dengan tanpa keluhan’ kecuali ingin mendapatkan panduan hidup lebih sehat lagi’. Mati-matian beliau mengatakan hidupnya baik-baik saja. Bahkan sudah lama mengikuti pola makan ajaran kenal saya saja belum. Setelah usut mengusut ternyata ia rajin membaca bermacam-macam buku kesehatan, rutin membuka video di ponsel dan mendapat terusan informasi dari teman-temannya yang katanya mantan pasien saya. Dengan rasa penasaran bercampur ngeri, saya berhasil mengorek apa yang diyakininya sebagai pola makan sehat’. Setiap pagi hanya makan sayur dan buah – itupun dibela-belain’ yang organik, plus madu yang harganya ratusan ribu. Telur pun hanya dimakan bagian putihnya. Tidak lagi makan tempe tahu, karena takut berisiko kanker payudara sebab ibunya meninggal terkena kanker payudara. Tidak lagi makan makanan laut takut saya desak ilmunya dari mana, ia kukuh menjawab “Kan saya baca, Dok! Itu dari penelitian loh. Kan dokter sendiri kata teman saya bilang bahwa kuning telur itu ada kolesterolnya!” – suaranya makin tinggi dengan mata membulat hampir loncat dari dari rongga cekungnya. Menghadapi pasien model begini, kesabaran tingkat dewa amat diperlukan. Hingga akhirnya kebenaran muncul satu-per satu. Mulai dari nama saya yang dicatut sana sini karena akhirnya ia membuka pesan berantai dari ponselnya – yang dengan ngeri pesan itu diberi imbuhan pribadi si penulis pesan peringatan keras tentang bahaya sumber pangan tertentu, dan penganiayaan istilah kolesterol sebagai momok yang berhasil meningkatkan derajat panik pembacanya. Sebagai dokter, memberi ceramah atau seminar rupanya harus tegas pula memperingatkan publik bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bisa seenaknya dicatut, dicaplok lalu disambung-sambungkan dengan tafsir pribadi. Tidak salah bila dokter menyebut kuning telur mengandung kolesterol – tapi bahwa gara-gara sehari mengonsumsi satu butir telur beserta kuningnya apakah kolesterol langsung melejit? Ini sama sekali ngawur. Bahkan dalam publikasi Harvard School of Public Health jelas-jelas disebutkan, 80% kolesterol manusia dibuat sendiri oleh hatinya. Kok bisa? Tentu, karena manusia juga butuh kolesterol. Dalam limit normal pastinya. Setelah ngobrol’ panjang lebar sambil meluruskan masalah, pasien wanita tadi akhirnya mengaku telah sekian lama bermain dokter-dokteran’ sendiri karena paranoiditasnya terhadap praktek dokter. Ia juga mengamini akibat bermain dokter-dokteran itu pola haid berubah, rambut rontok, dan teman-temannya mengatakan ia mudah tersinggung apalagi jika dibilang badannya terlalu kurus. Ia pun terkecoh dengan banyak bacaan internet yang menyitir istilah penelitian’. Ternyata ia tidak paham bahwa penelitian banyak derajatnya, untuk bisa dipercaya apalagi dijadikan pedoman baku. Sebuah studi kasus dan penelitian meta analisis, di mata cendekia punya derajat kesahihan yang amat jauh berbeda. Di akhir pembicaraan dengan pasien itu, saya menitipkan pesan bahwa semua yang disebut sehat harus juga punya nilai seimbang. Amat tidak normal sarapan hanya diisi sayur dan buah – walaupun tidak ada yang menyangkal buah itu sehat. Ikan dan semua hasil laut, masih aman disebut sehat kok. Jika tidak, bangsa Jepang sudah punah sejak kapan-kapan. Mereka pemakan seafood terbesar di muka bumi. Tapi mengapa bangsa Indonesia dan Cina pemakan seafood yang sama lalu kolesterolnya acakadul? Jawabannya ada di cumi goreng tepung cocol mayones, kepiting saus tiram yang tidak ada tiramnya, dan udang pancet goreng mentega plus nasi putih setengah bakul. Padahal kita sejak lama mengenal pepes udang atau capcay kuah seafood. Mungkin karena hujatan kuno dan tidak kekinian – karma besar akhirnya menerpa. Justru sebaliknya, produk industri yang katanya memenuhi gizi seimbang’ tidak mungkin disebut pangan sehat – karena sudah masuk kategori ultra proses. Tulisan panjang ini barangkali dapat membuat kita mundur sejenak untuk tidak gegabah menerapkan gaya dokter on line’ atau lebih gawat lagi membiarkan publik tanpa literasi mendalam mengakses interpretasi hasil pemeriksaannya dengan aplikasi canggih, memesan obatnya sendiri, mereka-reka sendiri bagaimana prognosis penyakitnya, belum lagi jika ia mendadak berganti profesi menjadi dokter tanpa sertifikasi’ bagi keluarganya. Sekolah jadi dokter itu amat lama, menghabiskan usia dan kesabaran bahkan. Bukan soal ilmunya banyak dan kompleks, tapi kematangan dokternya sendiri sebagai pengemong keberlangsungan hidup manusia perlu melalui proses yang benar dan baik. Ilmu kesehatan barangkali satu-satunya keilmuan yang menjadi titik temu sains, perilaku , kearifan, etika tanggung jawab dan antroposentrisme yang menemukan kejayaannya sejak abad pencerahan. Di tangan yang salah, semuanya bakal jadi masalah. Di tangan yang benar, suatu bangsa bisa tumbuh jadi besar. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Dokter Tan Shot Yen Praktek. Dokter tsy dikenal sebagai dokter kritis dan sering diundang sebagai pembicara dan. Tan mengatakan memang ada resep yang boleh Yang Unik dr. Tan Shot Yen Surga di Hatiku from buat sehat gramedia pustaka utama tan shot yen, drtanshotyen seorang dokter, filsuf dan doktor di gizi masyarakat. Buku dr tan shot yen. Sebenarnya, kasihan juga para dokter yang masih mengandalkan cara praktek kunojadwal praktek Dokter tan shot yen praktekIa Kuliah Di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara & Lulus Profesi Kedokteran Negara Fkui Pada Tahun tentang membiasakan gaya hidup dan pola makan yang sehat memang pasti akan selalu menjadi kebutuhan masyarakat di tiap zaman. Ia meneruskan pendidikan magisternya di sekolah tinggi filsafat driyarkara serta mendapatkan. Perkenalan resmi saya dengan Kuliah Di Fakultas Kedokteran Universistas Tarumanegara Dan Lulus Profesi Kedokteran Negara Fkui Pada Tahun april 2010 0906 diperbarui Tan mengatakan memang ada resep yang boleh diulang. Metodenya yang unik namun ampuh membuat pasien beliau berkembang layaknya bilangan yang dipangkatkan dari waktu ke Tan, Selain Memiliki PengetaDokter tan, selain memiliki pengeta. Hmmm… saya penasaran juga, andaikan saya mengikuti pola makan sehat ala dr. Sebenarnya, kasihan juga para dokter yang masih mengandalkan cara praktek kunoSemua Pasien Baru Dikumpulkan Untuk Diberikan Ceramah Tentang Mengapa Pasiennya Sakit kuliah di fk universistas tarumanegara dan lulus profesi kedokteran negara fkui 1991. Theessentialodyssey berbagai berita dan kabar seputar virus corona sedang sangat ramai diperbincangkan. Tan shot yen menyoroti penggunaan resep Shot Yen Pendiri Dr Tan Wellbeing Clinics And Remainlay Special Needs' Health NamaDokter tan shot yen 45 tidak memperlakukan pasien sebagai pesakitan, tetapi sebagai manusia yang punya daya menjadi kritis. Menjadi pasien dr tan shot yen. Bidex blok g/22 bsd city.

agama dr tan shot yen